Archive

Archive for March, 2011

Iseng


BB

Teman : Imas, punya BB ??

Aku : Punya

Teman : Minta PINnya dong !!

Aku : Ga pake PIN

Teman : Kok bisa ?? BB apaan ??

Aku : Bapak Bayu

Teman : Meni bangga…:(

SIM

Polisi : Selamat siang pak !

Suami : Siang !

Polisi : Bisa lihat SIMnya ?

Suami : Silakan…

( Tapi suamiku diam aja )

Polisi (agak kesal ) : SIMnya mana pak ?!

Suami (nyantai) : Nih di belakang saya

Polisi : Mana ?

Suami : Ini, Siti Imas Muhimmah, istri saya

Polisi : Heueueuh… >=(

Nama Terpanjang

Bu Guru : Wynie, namamu kepanjangan, Atmimlana Nurona Wynstelle Geulis Fathina, repot Ibu ngabsennya !

Wynie : Tradisi keluarga saya namanya panjang panjang Bu.

Bu Guru : Nama Ayahmu ?

Wynie : Afrendy Bayu Adhy Prakosa

Bu Guru : Hmm..iya juga. Nama Ibumu ?

Wynie : Siti Imas Muhimmah.

Bu Guru : Lho…itu mah biasa

Wynie : Justru Ibu saya yang namanya paling panjang.

Bu Guru : Maksudnya ??

Wynie : Ibu saya panggilannya IIM. kan panjang banget Bu, II Meter…

Bu Guru : Heueueu…

Categories: Cemal cemil

Masyarakatku


Setahun sudah sertifikat rumah ini berganti nama dari ‘Fulan’ jadi nama ‘Afrendy Bayu AP’, suamiku.
8,5 bulan kami resmi tinggal dan jadi penghuni Permata Duta.
Alhamdulillah atas semua anugerah ini, semoga menjadikan kami manusia yang penuh rasa syukur.

Panjang sekali kisahnya sampai kami bisa ‘terdampar’ disini, dari mulai proses hunting hingga akad tadinya pengen laporan di blog, tapi biasalah panyakit hoream sering kambuh.
Mungkin suatu saat mun purun dan masih menarik, saya ceritakan di judul yang lain.

Yang jelas kami memilih rumah ini pertimbangan utamanya memang mencari yang tanahnya luas, rumahnya sangat sederhana sekali, tentu supaya harganya bisa ‘ditekan’, yang penting masih layak ditinggali sampai kami mendapat rizki membangun rumah idaman ( Amin ).
Kebetulan sekali posisinya hoek, tepat ditengah komplek dan di jalan utama, dekat hutan studio alam TVRI ( pertimbangan udara segar dan resapan air )
Dan masih banyak lagi alasan yang bersifat fisik dan kasat mata.

Buatku pribadi, tempat tinggal idamanku adalah yang bisa membuatku ‘hidup’.
Aku selalu bilang sama suami ” Mas, kalau suatu saat kita diberi kesempatan rizki bisa punya rumah sendiri, aku pengen ‘punya masyarakat’. “

Maksudnya bukan jadi pejabat atau penguasa, tapi aku ingin memiliki lingkungan yang bermasyarakat dengan baik dan memungkinkanku untuk turut berpartisipasi ‘berbuat’ untuk lingkungan sesuai kemampuanku.

Karena sosok keluarga seperti itulah yang membesarkanku dulu.
Seingatku, sejak aku kecil aku terbiasa melihat kedua orangtuaku ‘berbuat’ untuk masyarakatnya.

Masih ingat ketika hampir tiap malam murid2 ayahku yang menjelang EBTANAS belajar bersama dirumahku ( dan merekapun harus bergantian ngipas2i sampai aku tertidur hehe )

Ketika rumahku tiap siang dan sore berjubel dipenuhi santri2 yang ngaji, pun malamnya orangtuaku masih disibukkan santri2 dimesjid depan rumah.

Ketika acara2 PHBI rumahku sering disulap jadi aula resepsi dan basecamp kegiatan.

Ketika rumahku sering ‘dikunjungi’ para pejabat desa untuk sekedar sharing atau rapat

Bahkan sampai kini, Ayahku si PNS guru agama SD di kampung, waktunya lebih banyak untuk mengurusi urusan masyarakat daripada jumlah jam kerja profesinya.

Belum lagi Ibuku si Ibu rumahtangga sekaligus petani yang hanya lulusan SMP kampung, terkadang jam terbangnya melebihi ayahku, rapat sana rapat sini, kegiatan ini kegiatan itu, dari level desa hingga kecamatan, juga tak jarang dalam beberapa forum sering menjadi pembicara dengan audiensnya para ibu2 yang level pendidikan dan status sosialnya lebih tinggi.

Dalam beberapa hal, kami anak2nya sering dilibatkan ( dan dididik ) untuk memberikan apa yang kami miliki untuk masyarakat, dari mulai ngajar ngaji, ikut2 ngajar disekolah, melatih karangtaruna jadi paskibra untuk acara agustusan, sampai jadi EO lomba kebaya emak2, kalau adikku biasanya disuruh periksa tensi di acara lansia ( lumayan lah…yang penting gaya dokternya dapet hehe… ).

Berbuat dan berbuat, manfaat dan manfaat. Itu didikan mereka. Boro2 disuruh itung2an bayaran, malah lebih sering keluar modal. Tapi image hidup bermasyarakat seperti itulah yang akhirnya menempel pada kami anak2nya.

Oke, kembali pada cerita tentang rumah, walaupun tak terkatakan, tapi greget dalam hati tentang hal itu nampaknya sudah bercokol dialam bawah sadar.

Ketika memutuskan memilih rumah ini, tak masuk hitungan sedikitpun faktor masyarakat impian. Hanya kami memang sempat berspekulasi dari beberapa fenomena fisik.

Pertama komplek yang tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar, masyarakatnya menengah, tipe rumah dengan pagar pendek/terbuka.
Tidak mencerminkan apapun memang, cuma kayaknya aku ga bakal betah tinggal dilingkungan dengan rumah segede2 gaban, pagar tertutup dan tinggi kaya benteng belanda, ga enak…ga punya tetangga, ga ada yg bisa dititipin rumah atau ngawasin anak kalo kita pergi2 hehe…
Tapi bukan juga lingkungan padat merayap yang kalo kebakaran bisa berjamaah dan pagi sore ngerumpi sambil ngala kutu hihihi…

Kedua, pilihannya suami, deket mesjid.
Tiap cek rumah pasti yang dilihat posisinya dengan mesjid.
Jelas…laki2 kan afdhalnya shalat berjamaah dimesjid,
lagi pula setelah seharian dan sepekan bergumul cari maisyah, itulah salah satu (kalo bukan satu2nya) kesempatan untuk para Bapak bermasyarakat.

Sempet juga hunting ke beberapa kawasan elit favorit keluarga muda masa kini, rumah2 cluster gitu. Beberapa dari yang ditemukan kok mana mesjidnya, kebayang kalo mo tarawih gimana ya…moso harus ngeluarin helikopter, kan enak kalo abring2an sama tetangga.

Itulah intinya dengan penuh kagamblingan kami ketok palu ‘sah’ beli rumah ini.

Awalnya sempat mengeluh dan agak menyesal karena posisi perumahan memang agak jauh dari peradaban, apalagi dari tempat kerja dan kuliah kami.

Tak sampai seminggu tinggal disini, Allah menunjukkan hikmah dan nikmat2nya yang lain.
( mungkin karena faktor posisi rumah yang center, apa karena faktor aku rajin tebar pesona ngenalin diri ke tetangga dengan gaya bersihin rumput halaman di jam2 emak2 berbondong2 menuju tukang sayur ) kami cepat dikenal, tetangga satu persatu menghampiri, mengajak berktivitas, mulai dari arisan, kerja bakti juga pengajian.
Alhamdulillah tak seperti yang dikhawatirkan, pengajiannya bukan arena Ibu2 centil berseragam atau pamer penampilan, tapi memang sangat memfasilitasi kebutuhan2 fikriyah dan ruhaniyah, mulai dari yang minta tahsin, kajian fikih, lalu mengundang ustadzah yang kompeten sesuai bidang yang kita butuh.
Dan progress terakhir ibu2 ini lagi pada minta menghapal Qur’an ke si ustadzahnya.
Albaqarah lho…target 25 ayat/semester,
itu setelah para ibu berhasil menghapal asmaul husna.
( semangatnya selalu membuat si junior ini kesetrum )

Seneeeng banget.
Inilah memang ‘jiwa’ kehidupanku.
Mungkin benar kata tetangaku, beli rumah itu ibarat jodoh, kita hanya bisa mengikhtiarkannya sesuai hitung2an selera kepala kita. Tapi Allah akan memberi yang terbaik dan cocok untuk lahir batin kita.
Kami membeli rumah untuk badan kita, Allah memberi rumah untuk jiwa kita juga.
Dan dikirimnyalah kami ke tempat (insya Allah) penuh berkah ini.

Belum lagi acara posyandu nan sederhana tapi menyenangkan (banyak makanan hehe…).
Suami pernah bilang, “kita beli timbangan yang bagus yuk buat posyandu”, setelah aku cerita tentang timbangan bayinya yang baru bisa dipakai setelah digeplak dulu.
Bahkan suami sampai repot2 mendownloadkan KMS ‘digital’ saking semangatnya berpatisipasi bermasyarakat.

Juga cerita tentang tetangga2ku yang baik.
Si Ibu depan yang suka baik hati ngawasi dan ‘melindungi’ keadaan rumah saat ditinggal, apalagi kalau pas suami lagi dinas keluar kota.
Si Ibu belakang yang paling rajin nyamper dan meyakinkanku untuk istiqamah (karena beliau kepala regu semua aktivitas) dan sering bagi2 makanan hehe…
Si Ibu samping yang konyol banget si tukang bodor.
Si Teteh tukang sayur yang baik suka ngasih2 bonus.
Toko Ucok sebagai toko satu2nya di komplek ini yang harganya ngalahin diskon hypermarket.
de el el lah pokoknya mah.

Dan…cerita ter-update beberapa jam lalu di acara pengajian door to door, para Ibu berinisiatif untuk mulai mengaktifkan anak2 remaja mereka untuk menghidupkan kegiatan komplek.
Mungkin cikal bakalnya karangtaruna, bisa dimulai dengan belajar bersama, mentoring, pengajian, atau apapun aktivitas positif gaya mereka.

Disini aku didaulat untuk ngurusi si remaja ini.

Darah karismaku (hihihi)…mulai mendidih. Alhamdulillah…penuh rasa syukur Tuhanku…aku diberi anugerah nikmatnya dakwah kembali.

Tiba tiba rindu kawan2ku di karisma…di jaringan…rindu rapat2 itu…rindu diomeli dengan tausyiah ” bukan dakwah yang butuh kita, tapi kita yang butuh dakwah, dengan atau tanpa kita dakwah akan tetap berjalan, tinggal memilih jadi yang atau yang terlempar”

Eits…tunggu…yang aku rindukan ada satu disini, disampingku tertidur pulas…sang pak kadiv.

” Bangun pak kadiv…tugas yang kita miliki lebih banyak dari waktu yang tersedia, mari jadikan waktu kita berkah manfaat hingga tiba saatnya beristirahat…di surga “

Categories: Uncategorized