Archive

Archive for March, 2009

Episode 5 : Santri Mukim


Setelah lulus SD alias duduk di bangku SMP aku tidak pernah lagi menjalani libur panjang di pesantren / sanlat. Karena setiap harinya aku memang diungsikan atau tinggal di pesantren. Jadi santri mukim.

Masih ingat conversation yang terjadi antara aku dan Ayahku ( sebenernya bukan conversation, tapi monolog ayah )

” Nanti SMP tinggal di pesantren. Silahkan pilih mau dipesantren mana? ”

Sebener benernya aku ingin menjawab ” Tinggal di rumah Bibi aja deh, ga mau di pesantren “, tapi aku sadar, itu jawaban yang konyol yang hanya akan memancing kemarahan dan omelan yang panjang. Akhirnya otakku berfikir keras menentukan pesantren yang ‘menyenangkan’.

Al Ulfah. Hmmm…pesantrennya enak. Tapi ko aku agak takut. Ga yakin bisa mudah beradaptasi dengan santri santrinya yang kebanyakan kalangan atas.

” MQTA aja Pa.” jawabku mantap

” Kan sudah pernah. Apa ingin kamu tinggal dipesantren lain. Biar ada pengalaman baru. Ada 2 pesantren yang Im belum pernah disana, pesantren Jatiluhur dan Cibeureum. mau dimana? ”

Sudah kuduga. Selalu begitu. Sebenarnya pilihan itu tak pernah ada. Semua sudah ditentukan. Aku no komen.

” Cobain di Cibeureum ya. Nanti kelas 2 pindah ke Jatiluhur ”

Palu diketok. Aku tinggal menjalani saja.

Nama pesantrennya Misbahudzulam. Letaknya masih di Rancah. tepatnya di Cibeureum.

Sebenernya letaknya punggung punggungan dengan pesantren MQTA. Hanya terpisah lembah. Itu kalo ngompas jalan kaki. Kalo pake kendaraan tetap jauh, muter.

Pesantren tipe tradisional juga ( di Rancah belum ada pondok modern ), termasuk salah satu pesantren besar. Lebih besar dari MQTA, hampir sebanding dengan Al Ulfah cuma berbeda tipe santrinya saja. Kalau di Al Ulfah kebanyakan santri luar kota, di sini kebanyakan orang daerah sekitar Rancah saja. Spesialisasinya sepertinya tidak ada. semua dipelajari dengan seimbang. Tapi sepertinya tidak ada tahfizh.

Aku diantar ayahku dititipkan ke kiyai berbekal sekarung beras, satu kardus berisi pakaian plus quran, kitab dan buku sekolah. Seperti sebelumnya, tak berbekal lemari ataupun kasur. Disini aku tidak lagi dititipkan makan ke keluarga kiayi. Kata Ayah harus jadi santri beneran. Betapa senengnya Ayahku. Akhirnya anaknya bawa bekal beras. Tak lupa ditambah nasehat tidak boleh pulang dan jangan keseringan maen ke rumah Bibi. bekal tiap bulan akan diantar. O…ow..

Segala sesuatu memang berawal dari niat, motivasi dan kondisi psikis kita. sampai usia ini aku belum tertarik mesantren, masih merasa ‘tersiksa’, akhirnya tak bisa menikmati.

Aku tak tertarik beramah tamah dan berkenalan dengan santri santri senior, tak tertarik ‘aktif’ dan jadi santri ‘baik/teladan’.

Hari hariku begitu melemaskan semua sendi dan ototku. Aku paling suka menjelang tidur. Karena aku bisa istirahat dari aktivitas pesantren, besok pagi bangun bisa berangkat sekolah dan pulang sekolah aku akan berlambat lambat jalan kakinya supaya gak cepet nyampe pesantren lagi. Aku tidak tertarik berangkat atau pulang bareng teman teman lain. Selalu ada alasan untuk bisa pulang sendiri. Terlihat aneh dan sering ditegor santri senior karena semua teman sekolah bisa mengikuti jadwal dengan normal kecuali aku yang sering pulang telat.

Oiya, sekolah dan pesantrenku 2 institusi yang berbeda dan letaknya berjauhan. Jalan kaki sekitar setengah jam.

Berangkat sekolah aku pasti melewati pesantren MQTA dan juga rumah Bibiku. Sedih. Pengen tinggal dirumah bibiku ( alasannya biar bisa nonton tv ). Tapi kalaupun tetap dipesantren aku lebih suka di MQTA.

Mungkin akunya aja yang manja. Sebenarnya tak ada yang salah dengan pesantrennya. Hanya aku yang merasa tidak cocok.

Seperti santri lainnya, aku kebagian jadwal patrol. Hal yang aku takutkan. Aku tidak bisa masak, dan harus masak untuk santri sepesantren??? whooo…hhh…

Anak sekolah dapat jadwal hari ahad. Dan setiap sabtu pulang sekolah aku kabur nginep dirumah bibiku. Tentu dengan sebelumnya memohon kerjasamanya untuk tidak laporan ke Ayah.

Aku ditegor senior. Aku diam. Tapi aku tidak merasa salah. Toh akupun tidak pernah menggunakan jasa patrol. Bagaimana tidak…tiap pagi petugas patrol mengambil beras,  baru masak selepas dhuha, aku sudah berangkat sekolah, sepulang sekolah sore hari nasiku sudah membatu.

Air buat mandi ( zaman itu, mungkin sekarang tidak ) sering tidak ada, mandinya massal, aku tidak nyaman.

Aku setiap hari sebelum berangkat sekolah mampir ke Bibi minta makan, begitu juga pulang sekolah, sekalian numpang mandi, dan numpang nonton tivi. Menjelang magrib baru pulang ke pesantren, berharap hanya tinggal tidur.

Aku ditegor lagi karena sering bolos belajar. Aku diam saja.

Kobong yang kutempati ukuran 2 x 2 meter dilantai 2. Aku tak punya kasur, tapi karena lantainya dari papan jadi lamayan hangat lah. Pakaian dan buku bukuku tetap disimpan di kardus. Malah beberapa buku sekolah aku titip di rumah Bibi, kecuali kalau ada PR.

Parahnya wali kelasku disekolah ternyata menantunya pak kiyai, putra bungsu pak kiayi juga kakak kelasku. Aku sempat ditegor disekolah karena makin jarang pulang ke pesantren.

Aku makin tertekan.

Kalau malam hari sering terdengar sayup sayup qiroat dari pesantren MQTA. Aku rindu ada disana.

Hingga suatu hari, aku hitung hitung sudah hampir setengah bulan aku tidak pulang ke pesantren. Aku ditegor bibi. dengan berbagai alasan yang masuk akal, aku melobi pamanku supaya beliau membantuku pindahan dari pesantren. Paman dan Bibi khawatir Ayahku marah. Iya aku tahu Ayah pasti marah. Aku putar otak gimana caranya supaya keluar dari pesantren itu. Kalau aku tinggal di rumah bibi pasti tidak boleh. Satu satunya jalan aku harus pindah pesantren. Aku bilang pamanku aku mau pindah aja ke MQTA dengan alasan mau memperdalam qiroat. Paman setuju tapi dengan mode tidak mau tanggungjawab dengan reaksi ayahku.

Suatu hari, aku dan pamanku datang ke pesantren. Sengaja mencari moment pas santri lagi belajar, lewat jalan belakang. Sepi. Aku ambil barang barang dikardus yang sebelumnya memang sudah ku packing, keluar pesantren menuju pamanku yang menunggu di lembah. Kardus itu dibawa pamanku. Lalu kami pulang. Lega, walau agak stress memikirkan cara memberitahu Ayah. Aku pergi tanpa pamit pada siapapun termasuk pak kiyai, beras sekarung aku tinggalkan saja.

Total hitungan aku disitu tidak sampai 3 bulan. Benerannya paling cuma 3 minggu atau kurang.

fhuh….kriminal.

Categories: Uncategorized

Episode 4 : Sanlat Terakhir


Tahun berikutnya, menjelang kenaikan ke kelas 6, aku kembali diikutkan pesantren kilat.

Masih di pesantren yang sama dengan episode 3 : Murottalul Qur’an Tarbiyatul Athfal.

Masih dengan aktivitas yang sama, bedanya tahun ini hampir semua pesantren termasuk MQTA membuka juga pesantren kilat, jadi santri sanlatnya jadi lebih banyak, ada ujian dan sertifikatnya juga seperti di Al Ulfah.

Sempat ada hal konyol yang aku lakukan waktu sanlat disini.

Disamping balkon kobong putri ada rimbunan pohon cengkeh yang menjulur ke balkon. Oleh salahsatu temanku aku diberitahu kalau pohon cengkeh itu bisa buat merokok. Aku sudah faham itu sejak lama, karena kakekku pun punya beberapa pohon cengkeh yang buahnya sering dijual, katanya itu buat dibikin rokok.

Tapi dengan ‘misleuk’nya, temanku memetik ranting kecil paling ujung yang berujung daun, kira kira sebesar dan sepanjang sedotan air mineral gelas. Lalu disulut salah satu ujungnya, setelah api dimatikan, dari ujung satu lagi temanku menghisapnya, dan memang kemudian dari mulutnya keluar asap seperti merokok sungguhan. Aku dan yang lainnya juga mencoba, fhuaaaahhh….pedesssss.

Temanku itu bukan seorang perokok tentu. Beliau sama sepertiku, anak kampung yang terbiasa main dan eksplorasi dengan alam. Cerita ini hanya ingin memperlihatkan bahwa ‘kreatifitas’ bukan monopoli anak terpelajar dengan biaya sekolah mahal dan bangunan eksklusif.

Buat yang suka merokok juga, ada tips nih, mending anda menanam pohon cengkeh disamping rumah, buat kamar anda dilantai 2 yang bersentuhan dengan rimbunnya daun cengkeh, silakan merokok dengan cara tadi, lebih murah, awet ( karena pasti gak kuat lama ), nafas segaaaaaarrrr.

Hal lain tentang pesantren ini. Tidak ada yang beda. Ini terakhir kalinya aku sanlat.

Categories: Uncategorized

Episode 2 : Bersama teman…bertualang


Episode 2 aku dan pesantren terjadi ketika libur kenaikan kelas 3 SD. Pesantrennya masih sama di Al Ulfah.

Aktivitas yang aku jalani juga masih sama seperti episode 1.

Bedanya mesantren tahun ini bersama 3 orang santri Ayahku. Neng Lina, putri teman Ayah. Siti dan Yati yang juga masih satu desa denganku. Mereka dititipkan orangtuanya ke Ayah, dan mereka juga ikut tinggal di rumah bibiku.

Sanlat tahun ini cukup bisa aku nikmati. Walaupun pelajarannya tetap susah dan sering menegangkan buatku, tapi aku sudah bisa menikmati ‘maen’ nya.

Tiap pagi dengan semangat kami bersiap siap untuk berangkat. Lalu antri meminta uang saku yang oleh orangtua dititipkan ke bibiku. Setiap anak Rp. 100,-.

Baru keluar rumah, kami mampir ke rumah tetangga belakang jajan pisang molen. Harganya Rp. 50,-. Kami senang maen disitu, karena kami bisa menonton proses pembuatan pisang molen yang waktu itu sangat asing buat kami. Kadang kami membantu membereskan pisang molen yang baru diangkat dari penggorengan…hmmm…wangi. Kami senang mencium wanginya. Kami juga senang bisa membeli dan memilih sendiri, tentu milih yang paling besar. Tapi ( sekarang baru nyadar ) kok aneh juga, tetap aja kami menahan diri untuk memakannya nanti pas jam istirahat pesantren, tentu saja sudah dingin dan liat.

Pulang pergi kami selalu bersama sama, jadi aku tidak perlu stress berada di tengah tengah anak anak sombong tetangga tetangga bibiku itu.

Di pesantren juga kami cukup menikmati suasana. Malah sudah mulai punya kenalan anak anak santri mukim disana, juga mulai dekat sama ustadz ustadzah.

Masih seperti dulu, adzan dhuhur terasa tetap merdu di telinga kami. Bukan hanya karena wktunya pulang. Tapi karena sepanjang perjalanan pulang itulah yang menyenangkan kami.

Perjalanan pesantren-rumah yang cukup jauh, menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk langkah anak SD dengan jalan yang naik turun, kadang kami seru seruan melewati jalan yang sebelumnya tidak pernah kami lewati, nyasar nyasaran.

Kadang kami juga berlama lama di depan sebuah rumah yang memelihara monyet yang dinamai ‘neng Novi’. Yang punyanya seorang pemuda ramah, waktu itu aku tidak tahu namanya, tapi kami sering becanda ( beberapa tahun kemudian ternyata beliau menjadi salah satu guruku di SMP, pembina pramuka, kami sering survey dan rihlah bersama, guru favoritku, yang aku ingin membuat tulisan khusus tentang beliau, pak Didi Rasyidi ). Teman temanku sering becanda dengan neng Novi, aku cuma nonton saja dari jauh ( lagi lagi….penakut banget sih aku ).

Sebelum sampai rumah, kami mampir jajan baso. Kami biasanya beli basonya aja tanpa mie, dibungkus dan digadoin dijalan. Rp. 50,- dapet 5, kalo Rp. 100,- ya dapat 10.

Aku, Siti dan Yati hanya mampu beli Rp. 50,- itupun kalo tidak tergoda jajan di kantin pesantren. Sementara neng Lina biasanya beli Rp. 100,- karena memang selain uang jajan yang dititipkan ke bibiku, beliau punya uang saku sendiri.

Sore hari setelah mandi dan shalat ashar juga bantu bantu bibiku cuci piring atau nyapu kami main ke pasar. Bukan belanja, karena biasanya pasar di Rancah sudah tutup sejak jam 2 siang. Maklumlah kami anak kampung yang jauh dari pasar bisa tinggal dekat pasar senang bukan main. Tiap hari kami kesana menyusuri lorong lorong kios sambil becanda, cerita cerita tentang kejadian di pesantren hari itu, tertawa tawa. tak jarang kami menemukan barang barang yang luput diberesi sama pemiliknya, kadang nemu gantungan kunci, pernah juga menemukan kaos kaki. kami senang kalau pulang dari sana kami menemukan sesuatu, seru aja. Tapi tentu kami harus waspada dan ingat waktu. Karena jam 5 sore pasar akan dikunci.

Tentu kami tidak cerita ke bibi kalau tiap sore main ke pasar, apalagi kalo menemukan barang barang. Tapi lama lama ketahuan juga ( ya iyalaah…rumah bibiku hanya beberapa meter dari pasar, yang berkeliaran di pasar tetangga2, ya wajar kalo ada yang lapor ).

Kami dimarahi sambil ditakut takuti, ya…hantulah…silumanlah…

Kami memang akhirnya jarang main lagi kesana ( tapi kadang juga nekat curi curi ), bukan karena takut hantu dkk, tapi takut dimarahi bibi. ( Nakut nakutin anak kampung sama hantu…ga mempan atuh… )

Penutupan sanlat kali ini cukup istimewa, karena orangtua kami menjemut dengan ‘luar biasa’ seolah kami pahlawan baru pulang dari medan perang. Orangtuaku yang biasanya kalem kalem jadi ikut ikutan riweuh.

Memang tidak banyak yang bisa aku ceritakan tentang kehidupan pesantrennya sendiri di dua episode ini, karena keberadaanku disini juga terbatas dan usiaku yang masih keil belum bisa mengerti penuh tentang semuanya

Categories: Uncategorized

Aku & Pesantren .eps.1 “Jadi Santri”


Seharian ini tiba tiba aku teringat masa masa dipesantren, suka duka yang membuatku tersenyum sendiri.

Jadi tergoda untuk merekamnya di blog. Thanks buat teknologi yang membuatku bisa menyimpan memoar dari penggalan hidup yang bisa aku buka setiap kali merindukan.

Aku mulai terjun ( tepatnya diterjunkan ) ke dunia berjudul pesantren ketika libur kenaikan kelas 1 SD.

Entah apa program ayahku dalam sistem pendidikan anaknya, sampai dengan teganya aku harus menghabiskan liburan di pesantren, bagai penjara buatku.

Betapa tidak, saat itu sepupu  & teman temanku menikmati liburannya dengan jalan jalan ke kota besar : Jakarta, Bandung, dll ( tiap aku protes, ayahku cuma menjawab : nanti juga kalo sudah besar kamu akan main di kota sampe bosan, bener juga sih…)

Sadis. Selama liburan sebulan penuh itu aku dilarang pulang, juga gak ditengok. Sebenarnya dekat sih, di kota kecamatan, tapi buatku yang baru kelas satu SD, itu jarak yang jauh. Apalagi kondisi dari desaku ke kecamatan  waktu itu sulit angkutan ( sekarang juga sih hehe… ), juga masih belum musim orang punya kendaraan pribadi. Sebulan ga ketemu orangtua.

( Beberapa tahun kemudian program orangtuaku ini benar benar terasa suatu eksperimen, karena ternyata adikku, seumur umur dia tidak pernah nyemplung ke pesantren )

Pada episode 1 ini sebenarnya aku tidak sepenuhnya tinggal di pesantren, tapi di rumah Bibiku ( adik Ibu ). Aku hanya ikut program pesantren kilat untuk santri kalong ( Kalong = Kelelawar. Sebutan santri kalong biasa diberikan untuk santri yang tidak menginap )

Berangkat dari rumah sekitar jam 7 pagi, jam 8.00 pelajaran sudah dimulai, bubar jam 13.00 setelah shalat dhuhur.

Oia, pesantren pertamaku namanya AL ULFAH. Sebuah pesantren besar di Rancah. Setiap tahunnya, tiap libur sekolah, terdaftar ratusan santri yang sanlat disana. Sekali lagi aku ingatkan, sanlat pada masa itu berbeda dengan sanlat sekarang yang cuma seminggu dan ‘santai’, dulu full time sebulan dengan aktivitas padat…belajaaaaar.

Sistemnya pesantren tradisional gitu, tapi Al Ulfah terkenal pesantren paling elit saat itu. Bangunan yang luas, besar dan mewah, santrinya yang berasal dari berbagai daerah, dan konon santri di situ anak anak orang kaya.

Kenapa aku dikirim kesitu, mungkin supaya aku tidak terlalu shock dengan kondisi pesantren yang terkenal ‘kumuh’.

Tidak ada teman dari desaku, juga tidak ada yang aku kenal, mau tidak mau aku harus ikut berangkat dengan anak anak sekitar rumah bibiku yang cenderung (penilaianku saat itu) agresif, cuek, dan angkuh ( maklum aku anak kampung yang terbiasa kalem dan bersahabat hehe… ). Aku dititipkan ke teh Titi, putrinya kakak ipar bibiku

Tiap pagi dengan degdegan, harap harap cemas dan takut, aku berangkat. Sesampainya di gerbang, mendengar riuh santri yang lalu lalang juga asik main, kejar kejaran, atau jajan, keteganganku meningkat ( huuuh…kenapa sih waktu kecil aku sulit menikmati episode hidupku ) .

Jam belajar mulai. Aku kelas B ( kelas A untuk yang belum sekolah ). Para ustadz ( kami memanggilnya Mamang ), hilir mudik menuju kelas masing masing sambil terkadang menghardik anak anak yang masih bandel berkeliaran. ( kalo dipikir sekarang…masa kanak kanak itu lucu…)

Aku semakin tegang setiap pelajaran mulai. Kok rasanya susah setengah mati. Tulisan tulisan arab, hafalan, materi akidah, fikih, akhlak, tajwid, apalah itu semua ( sejak itu aku jadi gak suka pelajaran agama ), bertahun tahun berguru sama ayahku kok rasanya ilmuku disini nol banget ( mungkin itu arti dari perkataan ayahku ” Kamu gak akan maju kalau terus belajar sama Apa, bergurulah pada yang lain ” ).

Keringatku bisa turun deras dan hatiku menangis sekeras kerasnya kalau ada sesi disuruh maju, diperiksa tulisan arab atau tes hafalan. Pokoknya siksaan deh. Mending aku disuruh cerdas cermat pelajaran sekolah atau ulangan sekolah tiap hari.

Tapi aku suka sesi bandung kuping ( kita mendengarkan aja ). Sebenarnya itu sesi tausyiah dan ‘doktrin’. Aku suka karena aku dapat banyak ilmu yang sebelumnya aku tidak tahu. Salah satunya, doktrin ‘oratun wajibun dikoetun wa jenggutun’ ( plesetan ‘aurat wajib di koet / di cakar dan dijenggut hehe…) buat anak anak perempuan yang pakai baju pendek dan kerudungnya dilepas.  Mang Yoyo, sang ustadz gaya mendongeng sambil melotot dan praktekin tangannya seperti singa nyakar nyakar.

Adzan duhur terdengar merdu ditelingaku, tandanya sebentar lagi pesantren bubaran. Tapi ‘siksaan’ itu belum selesai. Karena kita masih akan digiring kemesjid, dan harus dhuhur berjamaah dengan pengawasan para ustadz dibelakang yang memegang sapu lidi ( untuk menakut nakuti, terutama anak laki2 yang bandel. Tapi aku benar benar takut ), semua sisi pintu mesjid di kunci sampai selesai wirid yang rame2 dibaca dengan keras ( maksudnya supaya hafal )

Terkadang aku kabur juga. Haqqon, bukan niatku kabur. Berhubung si teteh dan teman temannya kabur dan aku tak tahu jalan pulang, jadilah ikutan, kadang prosesi itu jauh lebih horor buatku, jiwa anak anakku merasa tidak nyaman karena tahu itu suatu kenakalan dan kesalahan, lebih dari itu, aku takut ketahuan, lalu dikejar, ditangkap, dimarahi, trus dilaporin ke orangtua ( padahal…mana mungkin diuber…rajin amat ! )

Suatu hari, aku dikasih tahu kalau kami akan kabur, selesai pelajaran aku disuruh nyusul ke kelas C, mereka sudah kelas 5 & 6 SD, aku yang paling kecil. Dengan takut, waktu adzan duhur aku menyelinap ke kelas C, tanganku ditarik diajak secepatnya lari melalui jalan tikus, jalan lain arah pesantren yang jarang dilalui orang.

Sialnya jalan itu melewati kolamnya pak kiyai, disana berkumpul beberapa ustadz yang sedang memberi makan ikan. Ada mang Elan, mang Iwa, mang Yoyo, mang Yayan. Mereka meneriaki kami ” woi…woi…yang kabur besok dihukum…”. Teman temanku lari semakin kencang. Aku yang dipegangi teh Titi setengah diseret, terjatuh, sandalku lepas. Bingung. Balik lagi ambil sandal atau terus lari. Kalau terus lari takut dimarahi bibi karena menghilangkan sandal, pasti aku ketahuan kabur. Kalau balik lagi, takut ditangkap ustadz dan ditinggal teman teman. Karena kesulitan mengimbangi lari mereka yang berbadan tinggi, ditambah kaki yang tanpa sandal, juga pikiran yang ruwet, aku terjatuh. Teman teman meninggalkanku sambil memaki maki.

Bingung, akupun balik lagi ke tempat sandal, para ustadz siap siap menakutiku. Akhirnya aku menangis sekencang kencangnya. Mereka jadi panik dan sibuk membujukku supaya jangan nangis.

Akhirnya aku diajak balik lagi ke pesantren,lalu dititipkan ke salah seorang santri yang sudah dewasa ( ustadzah disitu juga, biasa dipanggil bi Ai ) kebetulan rumahnya lewatin rumah bibiku.

Sebulan itu begitu horor buatku. Bangun tidur menjadi momen yang menegangkan, dan adzan duhur adalah momen yang membahagiakan. aku takut tidur karena akan menghadapi besok pagi lagi.

Entah kenapa aku waktu kecil selalu tegang dengan hal hal baru yang diluar lingkunganku.

Kadang sekarang aku sering berfikir pola didik seperti itu sebenarnya bagus tidak ya? apa memang setiap anak kecil akan merasa tegang jika jauh dari keluarga dan gampang mendapaat stressor tinggi.

Aku ingin anakku mencoba tinggal dipesantren dan belajar mandiri sejak kecil. Tapi aku juga tidak mau dia menderita psikis seperti yang aku rasakan.

Atau…( sekali lagi ) emang akunya aja gitu ya…yang emang penakut

Categories: Aku