Home > Aku > Aku & Pesantren .eps.1 “Jadi Santri”

Aku & Pesantren .eps.1 “Jadi Santri”


Seharian ini tiba tiba aku teringat masa masa dipesantren, suka duka yang membuatku tersenyum sendiri.

Jadi tergoda untuk merekamnya di blog. Thanks buat teknologi yang membuatku bisa menyimpan memoar dari penggalan hidup yang bisa aku buka setiap kali merindukan.

Aku mulai terjun ( tepatnya diterjunkan ) ke dunia berjudul pesantren ketika libur kenaikan kelas 1 SD.

Entah apa program ayahku dalam sistem pendidikan anaknya, sampai dengan teganya aku harus menghabiskan liburan di pesantren, bagai penjara buatku.

Betapa tidak, saat itu sepupu  & teman temanku menikmati liburannya dengan jalan jalan ke kota besar : Jakarta, Bandung, dll ( tiap aku protes, ayahku cuma menjawab : nanti juga kalo sudah besar kamu akan main di kota sampe bosan, bener juga sih…)

Sadis. Selama liburan sebulan penuh itu aku dilarang pulang, juga gak ditengok. Sebenarnya dekat sih, di kota kecamatan, tapi buatku yang baru kelas satu SD, itu jarak yang jauh. Apalagi kondisi dari desaku ke kecamatan  waktu itu sulit angkutan ( sekarang juga sih hehe… ), juga masih belum musim orang punya kendaraan pribadi. Sebulan ga ketemu orangtua.

( Beberapa tahun kemudian program orangtuaku ini benar benar terasa suatu eksperimen, karena ternyata adikku, seumur umur dia tidak pernah nyemplung ke pesantren )

Pada episode 1 ini sebenarnya aku tidak sepenuhnya tinggal di pesantren, tapi di rumah Bibiku ( adik Ibu ). Aku hanya ikut program pesantren kilat untuk santri kalong ( Kalong = Kelelawar. Sebutan santri kalong biasa diberikan untuk santri yang tidak menginap )

Berangkat dari rumah sekitar jam 7 pagi, jam 8.00 pelajaran sudah dimulai, bubar jam 13.00 setelah shalat dhuhur.

Oia, pesantren pertamaku namanya AL ULFAH. Sebuah pesantren besar di Rancah. Setiap tahunnya, tiap libur sekolah, terdaftar ratusan santri yang sanlat disana. Sekali lagi aku ingatkan, sanlat pada masa itu berbeda dengan sanlat sekarang yang cuma seminggu dan ‘santai’, dulu full time sebulan dengan aktivitas padat…belajaaaaar.

Sistemnya pesantren tradisional gitu, tapi Al Ulfah terkenal pesantren paling elit saat itu. Bangunan yang luas, besar dan mewah, santrinya yang berasal dari berbagai daerah, dan konon santri di situ anak anak orang kaya.

Kenapa aku dikirim kesitu, mungkin supaya aku tidak terlalu shock dengan kondisi pesantren yang terkenal ‘kumuh’.

Tidak ada teman dari desaku, juga tidak ada yang aku kenal, mau tidak mau aku harus ikut berangkat dengan anak anak sekitar rumah bibiku yang cenderung (penilaianku saat itu) agresif, cuek, dan angkuh ( maklum aku anak kampung yang terbiasa kalem dan bersahabat hehe… ). Aku dititipkan ke teh Titi, putrinya kakak ipar bibiku

Tiap pagi dengan degdegan, harap harap cemas dan takut, aku berangkat. Sesampainya di gerbang, mendengar riuh santri yang lalu lalang juga asik main, kejar kejaran, atau jajan, keteganganku meningkat ( huuuh…kenapa sih waktu kecil aku sulit menikmati episode hidupku ) .

Jam belajar mulai. Aku kelas B ( kelas A untuk yang belum sekolah ). Para ustadz ( kami memanggilnya Mamang ), hilir mudik menuju kelas masing masing sambil terkadang menghardik anak anak yang masih bandel berkeliaran. ( kalo dipikir sekarang…masa kanak kanak itu lucu…)

Aku semakin tegang setiap pelajaran mulai. Kok rasanya susah setengah mati. Tulisan tulisan arab, hafalan, materi akidah, fikih, akhlak, tajwid, apalah itu semua ( sejak itu aku jadi gak suka pelajaran agama ), bertahun tahun berguru sama ayahku kok rasanya ilmuku disini nol banget ( mungkin itu arti dari perkataan ayahku ” Kamu gak akan maju kalau terus belajar sama Apa, bergurulah pada yang lain ” ).

Keringatku bisa turun deras dan hatiku menangis sekeras kerasnya kalau ada sesi disuruh maju, diperiksa tulisan arab atau tes hafalan. Pokoknya siksaan deh. Mending aku disuruh cerdas cermat pelajaran sekolah atau ulangan sekolah tiap hari.

Tapi aku suka sesi bandung kuping ( kita mendengarkan aja ). Sebenarnya itu sesi tausyiah dan ‘doktrin’. Aku suka karena aku dapat banyak ilmu yang sebelumnya aku tidak tahu. Salah satunya, doktrin ‘oratun wajibun dikoetun wa jenggutun’ ( plesetan ‘aurat wajib di koet / di cakar dan dijenggut hehe…) buat anak anak perempuan yang pakai baju pendek dan kerudungnya dilepas.  Mang Yoyo, sang ustadz gaya mendongeng sambil melotot dan praktekin tangannya seperti singa nyakar nyakar.

Adzan duhur terdengar merdu ditelingaku, tandanya sebentar lagi pesantren bubaran. Tapi ‘siksaan’ itu belum selesai. Karena kita masih akan digiring kemesjid, dan harus dhuhur berjamaah dengan pengawasan para ustadz dibelakang yang memegang sapu lidi ( untuk menakut nakuti, terutama anak laki2 yang bandel. Tapi aku benar benar takut ), semua sisi pintu mesjid di kunci sampai selesai wirid yang rame2 dibaca dengan keras ( maksudnya supaya hafal )

Terkadang aku kabur juga. Haqqon, bukan niatku kabur. Berhubung si teteh dan teman temannya kabur dan aku tak tahu jalan pulang, jadilah ikutan, kadang prosesi itu jauh lebih horor buatku, jiwa anak anakku merasa tidak nyaman karena tahu itu suatu kenakalan dan kesalahan, lebih dari itu, aku takut ketahuan, lalu dikejar, ditangkap, dimarahi, trus dilaporin ke orangtua ( padahal…mana mungkin diuber…rajin amat ! )

Suatu hari, aku dikasih tahu kalau kami akan kabur, selesai pelajaran aku disuruh nyusul ke kelas C, mereka sudah kelas 5 & 6 SD, aku yang paling kecil. Dengan takut, waktu adzan duhur aku menyelinap ke kelas C, tanganku ditarik diajak secepatnya lari melalui jalan tikus, jalan lain arah pesantren yang jarang dilalui orang.

Sialnya jalan itu melewati kolamnya pak kiyai, disana berkumpul beberapa ustadz yang sedang memberi makan ikan. Ada mang Elan, mang Iwa, mang Yoyo, mang Yayan. Mereka meneriaki kami ” woi…woi…yang kabur besok dihukum…”. Teman temanku lari semakin kencang. Aku yang dipegangi teh Titi setengah diseret, terjatuh, sandalku lepas. Bingung. Balik lagi ambil sandal atau terus lari. Kalau terus lari takut dimarahi bibi karena menghilangkan sandal, pasti aku ketahuan kabur. Kalau balik lagi, takut ditangkap ustadz dan ditinggal teman teman. Karena kesulitan mengimbangi lari mereka yang berbadan tinggi, ditambah kaki yang tanpa sandal, juga pikiran yang ruwet, aku terjatuh. Teman teman meninggalkanku sambil memaki maki.

Bingung, akupun balik lagi ke tempat sandal, para ustadz siap siap menakutiku. Akhirnya aku menangis sekencang kencangnya. Mereka jadi panik dan sibuk membujukku supaya jangan nangis.

Akhirnya aku diajak balik lagi ke pesantren,lalu dititipkan ke salah seorang santri yang sudah dewasa ( ustadzah disitu juga, biasa dipanggil bi Ai ) kebetulan rumahnya lewatin rumah bibiku.

Sebulan itu begitu horor buatku. Bangun tidur menjadi momen yang menegangkan, dan adzan duhur adalah momen yang membahagiakan. aku takut tidur karena akan menghadapi besok pagi lagi.

Entah kenapa aku waktu kecil selalu tegang dengan hal hal baru yang diluar lingkunganku.

Kadang sekarang aku sering berfikir pola didik seperti itu sebenarnya bagus tidak ya? apa memang setiap anak kecil akan merasa tegang jika jauh dari keluarga dan gampang mendapaat stressor tinggi.

Aku ingin anakku mencoba tinggal dipesantren dan belajar mandiri sejak kecil. Tapi aku juga tidak mau dia menderita psikis seperti yang aku rasakan.

Atau…( sekali lagi ) emang akunya aja gitu ya…yang emang penakut

Categories: Aku
  1. chacha
    12 March 2009 at 8:07 AM

    ini aku..adikmu satu2nya yg juga ada dibagian cerita ini…(jd pihak yg tidak pernah merasakan kehidupan pesantren..^^)
    mbaca tulisanmu…
    aq terharu…
    tapi banyakan ngakaknya…
    hehehehe…
    pisss…^^V

  2. 10 April 2014 at 11:34 AM

    🙂 Mantappp…

  1. No trackbacks yet.

Leave a comment